Showing posts with label puisi. Show all posts
Showing posts with label puisi. Show all posts

Thursday, December 23, 2010

Disihir Bahasa

(gambar diambil dari Google Images)

Setiap teks atau karya yang saya baca, tidak dapat tidak meninggalkan sedikit kesan pada diri. Tetapi, ada beberapa teks yang cukup saya gemari kerana bahasanya. Saya tergoda, disihir bahasa.

Tidak tahu sudah berapa banyak kali saya ulang novel Lembing Awang Pulang ke Dayang. Novel cinta terbaik bagi saya kerana banyak pantun di dalamnya. Pantun kegemaran dalam novel ini adalah azimat saya sejak Tingkatan 3.

Nyiur gading tinggi mahligai,
Sayang ketupat berisi inti,
Hancur daging tulang bercerai,
Belum dapat tidak berhenti.

Ketika di Tingkatan 5, saya terjumpa sebuah sajak yang saya tidak tahu pengarangnya, tetapi saya jatuh cinta tatkala membacanya buat kali pertama.

Belilah hati ini
Tambatkan pada tiang Arasy-Mu,
Landakan gelora
Kecamukan petaka dunia
Leburkan langit
Bungkuslah bumi
Namun tiada cinta di bumi
Setulus cinta Mu
Biar luka
Biar nestapa
Demi Engkau yang aku kenal
Tambatkanlah hati ini
Ikatkan dengan simpulan mati

Awal tahun ini, saya membeli novel Menara (Isa Kamari). Sekali lagi saya tersihir dengan bahasa (oh, rupanya saya belum habis baca lagi novel ini).

risik hujan
di dinding kaca
mengapa dingin
angin di kota
risik angin
di dinding jiwa
mengapa tertutup
jendela cinta

Dari novel 5 Menara yang saya baru khatamkan awal minggu ini, saya tertarik dengan syair Imam As Syafii yang telah diterjemahkan.

Orang pandai dan beradab tidak
akan diam di kampung halaman
Tinggalkan negerimu dan
merantaulah ke negeri orang
Merantaulah, kau akan dapat pengganti
daripada kerabat dan kawan
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa
sesudah lelah berjuang.
Syair ini seperti menyindir saya. Tetapi bukan kuasa saya menentukan di mana saya harus bertugas.
Sihir. Ia mengingatkan saya kepada sesuatu...

Tuesday, August 31, 2010

Kongsi

*
Dulu aku kata nak pinjam,
kau kata kau tak ada pun.
*
Tahu- tahu kau dapat satu,
dengan aku pun kau tak pinjamkan.
Waktu untuk aku sudah tamat tempoh.
*
Sekarang kenalah aku berjalan sendiri.
Jangan marah aku,
sebab masih tak jumpa
yang satu itu.
*
*
*
*
*
Sharing is caring.
Selamat menyambut 10 terakhir Ramadan!
Selamat Hari Kemerdekaan ke 53.

Friday, December 25, 2009

Shattered Dreams (2)

*


through my window
i can see
my shattered dreams
*
*
*
and i'm scattered
*
Refer to Shattered Dreams
*
Credit for this
photo
*

Wednesday, December 23, 2009

LAri:JaUh

*
Dulu
aku kata
"aku mahu lari,
pergi jauh!".
Tapi kau kata,
"jangan!
Tinggal saja denganku".
*
Sekarang
sudah hampir pasti
kau akan berdua
*
Nah,
ke mana harus aku
bawa lari
jauh- jauh
*
*
*
*
*
hati
ini
?
*

Thursday, October 29, 2009

Shattered Dreams

*
behind the glass window
i'm wondering
will the chances be given to me
again?
*
wasted,
do not ask me the question
for i'm not the one who turned it down
and deja vu becomes true
*
hurt?
the question is needless
as words are not enough to express it
*
and standing behind the glass window
*
*
*
*
*
i'm shattered
*

Friday, October 23, 2009

Circle

*
I'm standing in a circle
Among them, holding hands
***let me out of here!
***for I do not wish to stay here
***forever.
It turns me insane
***but wait!
***do not drag me out of
***this circle
For this circle
gives me comfort
It's my protector
*
I'm standing in the circle
motionless
*
Keyboard notes: Check out Hanis' latest entry. It is one of I 'loike' entry. Reminder for girls, please differentiate between reality and dream. For most of the time we will not get what we want. My comment? No comment!

Monday, July 07, 2008

Sumpah Anak Watan

Yesterday, when I cleaned up the cupboard in my room I come across something that I do not expect to see. A poem. Yes, a poem that I recited during a competition when I was in Standard 6. Such a long time, 12 years... Here is the poem, entitled ‘Sumpah Anak Watan’ by Adi Badiozaman Tuah. [read, what a name!]

Teman,
buat kesekian kalinya,
kita titis air mata darah,
kita hembus nafas panas api.

Bersama bulan bintang,
ke gunung kita,
ke hutan bersama,
kita patah duri beracun,
terlalu lama menusuk daging.

Dan kalian di hutan,
yang ketagih pada kibaran bendera merah,
ayuh! putar haluan,
kembali ke pangkal jalan.

Anak pribumi,
kira berdegil batu hatinya,
buat kesekian kalinya,
kita titis air mata darah,
kita hembus nafas panas api.
kita bakar mereka, dengan api yang mereka nyala sendiri.

Back than, I never know or realize why I like this poem so much. Actually, I still like this poem. For some reason, I can sense some energy in this poem. The spirit to fight for your country. What an interpretation at the age of 12! Maybe, that’s why my minor is literature, for I have had the love and passion towards it since I was in primary.

If I’m not mistaken, I took this poem for a book either “Kelapa Nan Sebatang’ or ‘Keris Laksamana Bentan’. I borrowed it from a friend who sat next to me in class.

Another thing that I found yesterday is my notes for Social Studies during my Foundation Course years. It is a part from a chapter entitled Evaluating and Improving Relationship. Read it in my next post.

Saturday, April 05, 2008

The Other Love Poem



a sailor is in love with the waves
and eventually like the waves
he becomes a hopeless lover.

a poet is in love with words
and eventually the net of words
traps him from meaning.

the sea is an infatuating spread
the jungle a passionate net
but the sea will not confess its secret
the jungle will not confess its secret
and the self becomes
a summit of mystery

all creation is a medium
to a recognition of the creator
yet how shall I write a poem of love
so that the medium
does not hide the purpose?




by Zurinah Hassan
Belilah hati ini
Tambatkan pada tiang Arasy-Mu
Landakan gelora
Kecamukan petaka dunia
Leburkan langit
Bungkuslah bumi
Namun tiada cinta di bumi
Setulus cinta-Mu
Biar luka
Biar nestapa
Demi Engkau yang aku kenal
Tambatkanlah hati ini
Ikatkan dengan simpulan mati

Wednesday, December 19, 2007

Aku Ingin Bersama-Samanya


(Ada Apa Dengan Cinta)


Ketika tunas ini tumbuh
Serupa tumbuh yang mengakar
Setiap nafas yang terhembus
Adalah kata

Angin, debur dan emosi
Bersatu dalam jua dan berpautan
Tangan kita terikat
Lidah kita menyatu
Maka setiap apa yang terucap
Adalah sabda pendita ratu

Di luar ini pasir
Luar itu debu
Hanya angin meniup saja
Terbang hilang tak ada apa

Tapi kita terus menari
Menari, cuma kita yang tahu

Jiwa ini tandu maka duduk saja
Maka akan kita bawa semua
Kerana kita adalah satu